Sabtu, 24 Mei 2014

I Rely My Dreams in London

By: Afifah Amani


 Prolog.
    
        Aku terpana melihat suasana hiruk pikuk di bandara Heathrow. Bule- bule tinggi dan besar berlalu lalang membawa koper dan barang bawaan masing- masing disaat aku hanya terpana dan terdiam di salah satu sudut bandara di dekat antrean para imigrasi. Aku tidak menyangka aku bisa menginjakkan kaki – kaki kecilku di bandara yang terkenal sangat sibuk itu. Ya, aku berada di London, di Inggris. Negara impianku sejak aku mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama. Karena ini adalah kali pertamanya aku mengunjungi London, aku masih terpaku dan terbengong- bengong seperti orang bodoh. Aku tak peduli melihat ekspresi orang- orang yang menatapku terheran- heran. Yah, biar sajalah, mereka tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Mereka tidak tahu betapa aku sudah berusaha mati- matian untuk bisa menginjakkan kaki di Negara impianku ini. Ah, ya akhirnya aku  berkesempatan untuk mewawancarai salah satu boyband Inggris yang terkenal saat ini, One Direction. Inilah tujuan pertama ku datang ke Inggris setelah keinginanku untuk mengunjungi Old Trafford dan menikmati pemandangan indahnya kota London di malam hari melalui London Eye. Yah, aku sekarang menjadi jurnalis di Jakarta Post dan kebetulan aku ditugaskan untuk mewawancarai One Direction. Betapa beruntungnya aku, sebab One Direction adalah grup favoritku. Juga aku sangat bersyukur sebab impianku menjadi seorang jurnalis benar- benar tercapai. Bayangkan saja. Dari dulu aku sudah bermimpi ingin melanjutkan studi S2 ke sini setelah aku lulus dari Universitas Padjadjaran, dan meskipun impianku itu belum tercapai, setidaknya aku bisa menginjakkan kaki di negeri impianku ini sekarang. Betapa terobsesinya aku dengan hal- hal yang berbau dengan Inggris.
Aku pun naik kereta bawah tanah di London, Underground, yang membawaku ke pusat kota. Kira- kira satu jam kemudian, aku tiba di Leicester Square. Lagi- lagi, aku terpana melihat suasana di sekitarnya. Bangunan- bangunan bergaya klasik dan  beberapa terlihat modern mengelilingiku dari segala sudut. Udara sejuk angin musim panas menyambutku disana. Matahari tampak bersinar terik namun tidak terlalu membakar kulitku. Sangat berbeda dengan musim kemarau di Jakarta. Di dalam ataupun di luar rumah, panasnya sama saja.
Aku meresapi suasana itu seraya menyeruput minuman kesukaanku, Susu Ultramilk yang sengaja kubawa terbang dari Indonesia. Tak lupa aku juga membawa 2 snack favoritku, Mr. Potato.
‘’Ehm, a beautiful woman like you shouldn’t walk alone!’’ Sebuah suara berat namun berwibawa mengagetkanku. Disapa begitu, sejujurnya aku agak gugup dan salah tingkah sendiri. Ditambah lagi, pria yang mengajakku bicara sangat tampan dengan mata coklat dan rambut coklat.
‘’Ehm, yeah I have just arrived here and I am a new comer from Indonesia!’’ jawabku seadanya sambil tersenyum. Setelah berbasa- basi dengan si bule tampan,aku pun mengatakan tujuanku datang kesini sambil menunjukkan alamat studio rekaman One Direction di London.

Bush Studios Ltd. In Shepherd’s Bush, London (Near Westfield Shopping center & The BBC Television Center)

Dengan berbaik hati, si bule tampan pun mengantarkanku menuju studio yang kutunggu- tunggu itu.



                                                                       ***

        Entah mengapa, sejak  aku menduduki bangku di Sekolah Menengah Pertama, aku selalu terobsesi dengan hal- hal yang berbau dengan Inggris. Dan meskipun agak berlebihan, aku berterimakasih kepada Westlife. Karena dengan seringnya aku mendengar lagu- lagu mereka, sejak saat itulah aku mulai menyukai Inggris, begitu juga dengan budayanya. Aku pun semakin rajin menghafal lirik- lirik lagunya dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Lalu, aku penasaran dengan aksen orang Inggris yang sebenarnya. Mulailah aku menonton film Harry Potter  dan itu menjadi film favorite ku sepanjang masa. Aku banyak belajar menirukan aksen British yang khas itu dan aku menikmatinya. Aku pun menonton beberapa film lainnya yang bersetting di Inggris, terutama di London. Akupun jatuh cinta dengan suasana di London. Melihatnya dari layarkaca saja membuatku seolah- olah merasakan diriku sedang berada disana. Hingga masuk ke jenjang perkuliahan, aku pun mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Padjadjaran. Betapa kagumnya aku melihat dosen- dosenku. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka adalah lulusan S2 di luar negeri. Dosen waliku saja bahkan sudah mendapatkan gelar Ph. D (Doctor Of Philosophy) di Monash University Australia. Beliau bahkan sempat mengenyam pendidikan S2 di Lanchaster University, Inggris. Melihat fakta itu, aku pun terobsesi untuk bisa seperti mereka. Meskipun aku sedang menjadi mahasiswi jurusan Sastra Inggris, namun impianku adalah melanjutkan studi S2 ke Inggris dan mengambil jurusan Jurnalistik. Ya, itu adalah impian terbesarku saat ini. Aku pun menyatakan niatku tentang itu pada kedua orang tuaku. Awalnya mereka tidak begitu setuju. Maklum, kata mereka aku anak perempuan, jadi menurut mereka, aku tidak usah sekolah jauh- jauh. Namun, aku tetap berusaha dengan keras membujuk mereka berdua. Aku nyatakan aku pasti bisa mendapatkan beasiswa kesana. Aku jelaskan pada mereka  bagaimana dosen- dosenku mendorongku untuk bisa seperti mereka. Bahkan aku sempat memohon dan menangis untuk meminta persetujuan kedua orang tuaku. Melihat kesungguhanku, akhirnya mereka pun meneyetujuinya. Hanya saja, aku masih belum yakin apakah aku bisa melanjutkan studi kesana. Tentunya untuk mendapatkan beasiswa juga akan membutuhkan proses yang tidak mudah. Namun aku tidak patah semangat, aku harus belajar, belajar, dan belajar untuk mendapatkan semua itu. Untuk mendukung persiapanku, aku pun mulai menabung dari hasil beasiswa yang kudapatkan dari kampusku. Aku berencana untuk mengikuti TOEFL internasional kira- kira setahun lagi. Dan tentunya biayanya sedikit mahal, sekitar dua juta rupiah. Untuk lulus tes tersebut, aku harus banyak latihan mengikuti TOEFL yang selalu diadakan di fakultasku tiap sebulan sekali oleh Pusat Bahasa. Begitu besarnya keinginanku untuk melanjutkan studi ke Inggris, aku pun mulai- googling- mencari universitas yang unggul di bidang jurnalistik. Aku pun menemukan sebuah nama, yaitu Westminster University dan aku langsung jatuh cinta. Coba bayangkan, lokasinya di London, dekat dengan pusat kota. Wah, aku benar- benar ingin kuliah di tempat seperti itu.  Westminster University juga sering memberikan program beasiswa. Karena itulah aku sangat berharap bisa melanjutkan studi kesana. Ah, andai saja impianku itu tercapai.
    Alih- alih dulunya aku menyukai Westlife, sekarang ada boyband baru dari Inggris yang bernama One Direction. Entah mengapa, aku pun langsung jatuh cinta pada boyband yang satu ini. Betapa seringnya aku mendengar lagu- lagu mereka, dan juga menyaksikan talk- show maupun kegiatan mereka sehari- hari. Sedikit demi sedikit, aku belajar banyak dari aksen British yang mereka ungkapkan, dan terkadang tanpa melihat subtitle di layar, aku bisa mengerti apa yang mereka katakan. Wah, aku sangat senang belajar bahasa Inggris.  Ini bisa menjadi modalku untuk memperlancar bahasa Inggrisku. Aku pun di dukung oleh sang Ayah tercinta dengan cara mengajakku berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris di kehidupan sehari- hari, baik itu melalui telephone, ataupun pada saat aku bertatap muka dengan Ayah. Dengan senang hati beliau pun gemar mengoreksi  jika kata- kataku salah, ia senang mengoreksi grammar-ku. Dengan seringnya ia melakukan hal itu, aku belajar dari banyak kesalahan hingga akhirnya akupun mulai lancar berbahasa Inggris tanpa melakukan banyak kesalahan sampai saat ini. Ayahku itu dulunya seorang guru Bahasa Inggris di tingkat Sekolah Menengah Pertama, dan ia juga sempat mengajar kursus bahasa Inggris buat para mahasiswa. Namun, sekarang ia hanya bisa fokus ke urusan bisnisnya saja. Apapun itu, aku hanya ingin mengucapkan: ‘’Terimakasih Ayah!’’.
          Lalu, suatu hari aku membaca Koran The Jakarta Post, yaitu Koran berbahasa Inggris yang terbit di Indonesia. Aku membaca beberapa artikel yang ditulis oleh para jurnalis terkenal. Betapa mereka sudah belajar banyak dari cara menulis artikel dengan baik. Usut punya usut, seorang temanku memiliki seorang Paman yang menjadi jurnalis di Jakarta Post itu. Melalui bantuan temanku, aku pun bisa bertanya- Tanya padanya tentang seluk- beluk dunia jurnalistik di media cetak.
‘’ Jadi jurnalis itu menyenangkan sekaligus melelahkan loh. Kamu harus bisa bertanggung jawab dengan artikel yang kamu tulis. Kamu bisa kesana- kemari buat mencari narasumber dan bertemu dengan orang- orang baru maupun orang- orang penting. Enaknya lagi, kalau kamu sudah menjadi jurnalis tetap di Jakarta Post, kamu bisa keluar negeri untuk mewawancarai narasumber. Yah, seperti saya ini. Bisa sekalian jalan- jalan keluar negeri.  Nah, kalau kamu ditugaskan ke Inggris untuk mewawancarai seseorang, lakukanlah tugasmu dengan benar dan baik. Kamu akan menulis berita. Lalu, tidak salah jika kamu mau menulis artikel ‘’Travelling’’ tentang nuansa di Inggris untuk kemudian diberikan ke editor!’’ begitulah penjelasan dari Paman Heri tentang pekerjaan jurnalis di The Jakarta Post.
Mendengar itu, aku sangat tertarik untuk mengikuti dunia jurnalistik. Aku baru menyadari bahwa aku sangat suka menulis. Entah itu menulis cerpen berbahasa Inggris, menulis artikel, setidaknya aku memiliki dasar dari semua itu. Itu sudah menjadi makananku sehari- hari sebagai mahasiswa Sastra Inggris. Ditambah lagi, setidaknya sekarang aku bisa menulis artikel dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku pun memikirkan hal lain. Jika nanti aku tidak bisa melanjutkan studi S2 ku ke Inggris, setidaknya aku bisa menjadi seorang jurnalis di Jakarta Post. Pastinya nanti aku juga bisa jalan- jalan ke Inggris. Yah, setidaknya aku bisa menginjakkan kakiku di Inggris. Untuk menjadi seorang jurnalis di The Jakarta Post, Paman Heri mengatakan bahwa aku harus lulus S1 terlebih dahulu, IPK minimal 3,00, memiliki skor TOEFL minimal 550, juga menguasai bahasa Inggris. Dalam hati aku meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa dan aku harus belajar.
Setiap hari, aku tidak bosan- bosannya mengutarakan niatku pada teman- teman terdekatku. Obsesiku untuk pergi ke Inggris, belajar disana ataupun hanya sekedar jalan- jalan saja. Aku menceritakan keindahan kota London yang penuh dengan lampu jika dilihat di malam hari melalui London Eye (kincir raksasa di London), betapa asrinya taman bunga di Buckingham Palace, betapa jalan raya disana tidak terlalu hiruk pikuk, betapa bagusnya bangunan Oxford yang terbaru saat ini, betapa indahnya bangunan Gothic seperti Westminster Abbey dan juga Trafalgar Square yang dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan kantor- kantor berdinding kelabu, tepat ditengah kesibukan London. Bahkan aku menyebutkan karya sastra Inggris favoritku di zaman Victoria maupun Elizabeth.  Didekat Trafalgar Square terdapat National Gallery yang memiliki koleksi terkenal seperti The Virgin Of The Rocks karya Leonardo Da Vinci, pelukis favoritku. Aku menyebutkan detail- detail di kota London, seolah- olah aku sudah pernah kesana sebelumnya. Melankolis memang, tapi aku tak peduli. Dengan hanya menceritakan hal itu pada teman- teman dekatku, aku sudah bisa menghibur diriku sendiri seolah- olah memang aku sudah pernah kesana.  Ya, dan aku hanya mengetahui itu semua dari buku- buku yang berkaitan dengan London, maupun novel yang bersetting di London. Tak lupa aku meyakinkan teman- temanku untuk berusaha dengan keras agar impian tercapai. Aku menasehati mereka untuk belajar lebih baik lagi. Mereka menghargai niatku itu. Namun, terkadang aku memang membuat mereka jengkel dengan menceritakan hal itu lagi setiap harinya. Mereka menjadi bosan. Ah, biarin saja. Mereka tidak tahu betapa terobsesinya aku dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Inggris. Termasuk menikah dengan orang Inggris. Nah lhoooo…tinggi sekali impianku. Tetapi memang itulah kenyataanya.
                                                                                
             
                                                                            ***

Minggu, 10 Maret 2014
    
          Siang itu, taman bunga di belakang rumahku terlihat indah dibawah terpaan sinar matahari yang terik. Karpet biru berbulu tebal terbentang di sudut pagar yang membatasi taman dengan jalan raya. Biasanya , saat aku dan teman- teman sedang bermalas- malasan, dengan senang hati kami membawa beberapa snack  dan berbaring di karpet tersebut seolah kami sedang piknik. Kami juga membawa kamera SLR untuk berburu foto diri kami yang berlatar belakang taman bunga di rumahku ini. Namun, siang ini teman- temanku sedang sibuk dengan urusan masing- masing dan aku sedang tidak ingin kemana- mana. Angin sepoi- sepoi di siang hari menggelitik kulitku dan aku merasa segar meskipun matahari sedang bersinar dengan teriknya.  Aku menyusuri taman dan memetik bunga kesukaanku, mawar, lalu duduk di atas karpet biru sambil bersandar di sebuah batang pohon besar di sudut taman. Hari ini sangat tenang. Burung- burung kecil berkicau indah, kupu- kupu beterbangan di sekitar bunga, dan kucing kesayanganku, Timo, sedang tidur terlelap disampingku. Aku menatap awan dan langit biru yang terbentang luas diatasku. Oh, betapa indahnya alam ini. Kulihat segumpal awan berbentuk kelinci yang berhembus perlahan di bawah hamparan langit biru nan luas. Aku merasa nyaman disaat-saat seperti itu. Dunia tenang, hari yang cerah, semuanya indah. Aku pun memejamkan mataku dan jatuh tertidur karena angin sepoi- sepoi membuatku mengantuk.
Aku terpana melihat suasana hiruk pikuk di bandara Heathrow. Bule- bule tinggi dan besar berlalu lalang membawa koper dan barang bawaan masing- masing disaat aku hanya terpana dan terdiam di salah satu sudut bandara di dekat antrean para imigrasi. Aku tidak menyangka aku bisa menginjakkan kaki – kaki kecilku di bandara yang terkenal sangat sibuk itu. Ya, aku berada di London, di Inggris. Negara impianku sejak aku mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama. Karena ini adalah kali pertamanya aku mengunjungi London, aku masih terpaku dan terbengong- bengong seperti orang bodoh. Aku tak peduli melihat ekspresi orang- orang yang menatapku terheran- heran. Yah, biar sajalah, mereka tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Mereka tidak tahu betapa aku sudah berusaha mati- matian untuk bisa menginjakkan kaki di Negara impianku ini. Ah, ya akhirnya aku berkesempatan untuk mewawancarai salah satu boyband Inggris yang terkenal saat ini, One Direction. Inilah tujuan pertama ku datang ke Inggris setelah keinginanku untuk mengunjungi Old Trafford dan menikmati pemandangan indahnya kota London di malam hari melalui London Eye. Yah, aku sekarang menjadi jurnalis di Jakarta Post dan kebetulan aku ditugaskan untuk mewawancarai One Direction. Betapa beruntungnya aku, sebab One Direction adalah grup favoriteku. Juga aku sangat bersyukur sebab impianku menjadi seorang jurnalis benar- benar tercapai. Bayangkan saja. Dari dulu aku sudah bermimpi ingin melanjutkan studi S2  ke sini setelah aku lulus dari Universitas Padjadjaran, dan meskipun impianku itu belum tercapai, setidaknya aku bisa menginjakkan kaki di negeri impianku ini sekarang. Betapa terobsesinya aku dengan hal- hal yang berbau dengan Inggris.
Aku pun naik kereta bawah tanah di London, Underground, yang membawaku ke pusat kota. Kira- kira satu jam kemudian, aku tiba di Leicester Square. Lagi- lagi, aku terpana melihat suasana di sekitarnya. Bangunan- bangunan bergaya klasik dan  beberapa terlihat modern mengelilingiku dari segala sudut. Udara sejuk angin musim panas menyambutku disana. Matahari tampak bersinar terik namun tidak terlalu membakar kulitku. Sangat berbeda dengan musim kemarau di Jakarta. Di dalam ataupun di luar rumah, panasnya sama saja.
Aku meresapi suasana itu seraya menyeruput minuman kesukaanku, Susu Ultramilk yang sengaja kubawa terbang dari Indonesia. .Tak lupa aku juga membawa 2 snack favoritku, Mr. Potato.
‘’Ehm, a beautiful woman like you shouldn’t walk alone!’’ Sebuah suara berat namun berwibawa mengagetkanku. Disapa begitu, sejujurnya aku agak gugup dan salah tingkah sendiri. Ditambah lagi, pria yang mengajakku bicara sangat tampan dengan mata coklat dan rambut coklat.
‘’Ehm, yeah. But I have just arrived here and I am a new comer from Indonesia!’’ jawabku seadanya sambil tersenyum. Setelah berbasa- basi dengan si bule tampan,  aku pun mengatakan tujuanku datang kesini sambil menunjukkan alamat studio rekaman One Direction di London.

Bush Studios Ltd. In Shepherd’s Bush, London (Near Westfield Shopping center & The BBC Television Center)

Dengan berbaik hati, si bule tampan pun mengantarkanku menuju studio yang kutunggu- tunggu itu.
                                                                                  
                                      
                                                                                ***


‘’ Hmm…Seharusnya dia tidak tidur di tempat seperti ini. Seperti tidak ada kamar tidur saja! Hey, kau bangunlah!’’ Sebuah suara mengagetkanku. Aku pun tersadar dan melihat ketiga temanku menatapku lekat- lekat.  Entah mengapa, secara reflex aku tidak terima dikagetkan seperti itu.
‘’ Apa- apaan sih kalian! Aku sedang berada di London, please deh jangan merusak suasana!’’ teriakku. Mendengar itu, bukannya malah menjauhiku untuk memberiku privasi, mereka justru tertawa terbahak- bahak. Dini, salah satu teman baikku pun langsung angkat bicara.
‘’ Ya ampun, girl. Ayolah, Kau seharusnya sadar, tadi itu kau cuma bermimpi. Kami dengar kau menggigau sendiri. Sepertinya di mimpi itu kau bertemu dengan bule, lalu kau menanyakan alamat studionya One Direction. Ya kan?’’
Aku terdiam dan merasa shock. Aku melihat arloji, sudah pukul 4 sore. Wah , aku tertidur di bawah pohon ini selama satu jam lebih. Dan aku tersadar bahwa tadi itu hanyalah mimpi. Bertemu bule, ada di bandara Heathrow, dan berada di London, ternyata aku sedang bermimpi di dalam tidurku. Semuanya seperti nyata. Aku tak menyangka itu hanyalah bunga tidur. Aku mendesah kecewa.
‘’ Sudahlah. Kau cuma terobsesi dengan Inggris, Inggris, dan Inggris. Sampai- sampai kau terbawa mimpi! Lebih baik sekarang kita foto- foto, yuk! Tadi kami melihat Ibumu di depan, makanya kami bisa masuk kesini!’’ Rere, temanku yang lainnya meraih pergelangan tanganku agar aku segera bangkit dari dudukku. Tetapi, aku masih tetap kesal. Meskipun aku sudah menerima fakta bahwa tadi aku hanya bermimpi, setidaknya kalau teman- temanku tidak datang, aku pasti bisa melanjutkan mimpiku tadi. Aku bisa bertemu One Direction, bahkan aku belum menelusuri seluk- beluk London. Fiuuuuhhh… Ya sudahlah. Aku tidak menyalahkan teman- temanku. Setidaknya, aku berharap semoga mimpiku barusan akan menjadi kenyataan di kemudian harinya. Amin.
Inggris, London…. I love youuuuuuuu <3 <3
     

THE END
                                                                               

                                                                                ***