By: Afifah Amani
Prolog.
Aku terpana melihat
suasana hiruk pikuk di bandara Heathrow. Bule- bule tinggi dan besar berlalu
lalang membawa koper dan barang bawaan masing- masing disaat aku hanya terpana
dan terdiam di salah satu sudut bandara di dekat antrean para imigrasi. Aku
tidak menyangka aku bisa menginjakkan kaki – kaki kecilku di bandara yang
terkenal sangat sibuk itu. Ya, aku berada di London, di Inggris. Negara
impianku sejak aku mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama. Karena ini
adalah kali pertamanya aku mengunjungi London, aku masih terpaku dan
terbengong- bengong seperti orang bodoh. Aku tak peduli melihat ekspresi orang-
orang yang menatapku terheran- heran. Yah, biar sajalah, mereka tidak tahu apa
yang kurasakan saat ini. Mereka tidak tahu betapa aku sudah berusaha mati-
matian untuk bisa menginjakkan kaki di Negara impianku ini. Ah, ya akhirnya
aku berkesempatan untuk mewawancarai
salah satu boyband Inggris yang terkenal saat ini, One Direction. Inilah tujuan
pertama ku datang ke Inggris setelah keinginanku untuk mengunjungi Old Trafford
dan menikmati pemandangan indahnya kota London di malam hari melalui London
Eye. Yah, aku sekarang menjadi jurnalis di Jakarta Post dan kebetulan aku
ditugaskan untuk mewawancarai One Direction. Betapa beruntungnya aku, sebab One
Direction adalah grup favoritku. Juga aku sangat bersyukur sebab impianku
menjadi seorang jurnalis benar- benar tercapai. Bayangkan saja. Dari dulu aku
sudah bermimpi ingin melanjutkan studi S2 ke sini setelah aku lulus dari
Universitas Padjadjaran, dan meskipun impianku itu belum tercapai, setidaknya
aku bisa menginjakkan kaki di negeri impianku ini sekarang. Betapa terobsesinya
aku dengan hal- hal yang berbau dengan Inggris.
Aku pun naik kereta bawah tanah di
London, Underground, yang membawaku ke pusat kota. Kira- kira satu jam
kemudian, aku tiba di Leicester Square. Lagi- lagi, aku terpana melihat suasana
di sekitarnya. Bangunan- bangunan bergaya klasik dan beberapa terlihat modern mengelilingiku dari
segala sudut. Udara sejuk angin musim panas menyambutku disana. Matahari tampak
bersinar terik namun tidak terlalu membakar kulitku. Sangat berbeda dengan
musim kemarau di Jakarta. Di dalam ataupun di luar rumah, panasnya sama saja.
Aku meresapi suasana itu seraya
menyeruput minuman kesukaanku, Susu Ultramilk yang sengaja kubawa terbang dari
Indonesia. Tak lupa aku juga membawa 2 snack favoritku, Mr. Potato.
‘’Ehm, a beautiful woman like you shouldn’t
walk alone!’’ Sebuah suara berat namun berwibawa mengagetkanku. Disapa begitu,
sejujurnya aku agak gugup dan salah tingkah sendiri. Ditambah lagi, pria yang
mengajakku bicara sangat tampan dengan mata coklat dan rambut coklat.
‘’Ehm, yeah I have just arrived here
and I am a new comer from Indonesia!’’ jawabku seadanya sambil tersenyum.
Setelah berbasa- basi dengan si bule tampan,aku pun mengatakan tujuanku datang
kesini sambil menunjukkan alamat studio rekaman One Direction di London.
Bush
Studios Ltd. In Shepherd’s Bush, London (Near Westfield Shopping center &
The BBC Television Center)
Dengan berbaik hati, si bule tampan
pun mengantarkanku menuju studio yang kutunggu- tunggu itu.
***
Entah mengapa, sejak aku menduduki bangku di Sekolah Menengah
Pertama, aku selalu terobsesi dengan hal- hal yang berbau dengan Inggris. Dan
meskipun agak berlebihan, aku berterimakasih kepada Westlife. Karena dengan
seringnya aku mendengar lagu- lagu mereka, sejak saat itulah aku mulai menyukai
Inggris, begitu juga dengan budayanya. Aku pun semakin rajin menghafal lirik-
lirik lagunya dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Lalu, aku penasaran
dengan aksen orang Inggris yang sebenarnya. Mulailah aku menonton film Harry
Potter dan itu menjadi film favorite ku
sepanjang masa. Aku banyak belajar menirukan aksen British yang khas itu dan
aku menikmatinya. Aku pun menonton beberapa film lainnya yang bersetting di
Inggris, terutama di London. Akupun jatuh cinta dengan suasana di London.
Melihatnya dari layarkaca saja membuatku seolah- olah merasakan diriku sedang
berada disana. Hingga masuk ke jenjang perkuliahan, aku pun mengambil jurusan
Sastra Inggris di Universitas Padjadjaran. Betapa kagumnya aku melihat dosen-
dosenku. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka adalah lulusan S2 di luar
negeri. Dosen waliku saja bahkan sudah mendapatkan gelar Ph. D (Doctor Of
Philosophy) di Monash University Australia. Beliau bahkan sempat mengenyam
pendidikan S2 di Lanchaster University, Inggris. Melihat fakta itu, aku pun
terobsesi untuk bisa seperti mereka. Meskipun aku sedang menjadi mahasiswi
jurusan Sastra Inggris, namun impianku adalah melanjutkan studi S2 ke Inggris
dan mengambil jurusan Jurnalistik. Ya, itu adalah impian terbesarku saat ini.
Aku pun menyatakan niatku tentang itu pada kedua orang tuaku. Awalnya mereka
tidak begitu setuju. Maklum, kata mereka aku anak perempuan, jadi menurut
mereka, aku tidak usah sekolah jauh- jauh. Namun, aku tetap berusaha dengan
keras membujuk mereka berdua. Aku nyatakan aku pasti bisa mendapatkan beasiswa
kesana. Aku jelaskan pada mereka
bagaimana dosen- dosenku mendorongku untuk bisa seperti mereka. Bahkan
aku sempat memohon dan menangis untuk meminta persetujuan kedua orang tuaku.
Melihat kesungguhanku, akhirnya mereka pun meneyetujuinya. Hanya saja, aku
masih belum yakin apakah aku bisa melanjutkan studi kesana. Tentunya untuk
mendapatkan beasiswa juga akan membutuhkan proses yang tidak mudah. Namun aku
tidak patah semangat, aku harus belajar, belajar, dan belajar untuk mendapatkan
semua itu. Untuk mendukung persiapanku, aku pun mulai menabung dari hasil
beasiswa yang kudapatkan dari kampusku. Aku berencana untuk mengikuti TOEFL
internasional kira- kira setahun lagi. Dan tentunya biayanya sedikit mahal,
sekitar dua juta rupiah. Untuk lulus tes tersebut, aku harus banyak latihan
mengikuti TOEFL yang selalu diadakan di fakultasku tiap sebulan sekali oleh
Pusat Bahasa. Begitu besarnya keinginanku untuk melanjutkan studi ke Inggris,
aku pun mulai- googling- mencari universitas yang unggul di bidang jurnalistik.
Aku pun menemukan sebuah nama, yaitu Westminster University dan aku langsung
jatuh cinta. Coba bayangkan, lokasinya di London, dekat dengan pusat kota. Wah,
aku benar- benar ingin kuliah di tempat seperti itu. Westminster University juga sering memberikan
program beasiswa. Karena itulah aku sangat berharap bisa melanjutkan studi
kesana. Ah, andai saja impianku itu tercapai.
Alih- alih dulunya aku menyukai Westlife,
sekarang ada boyband baru dari Inggris yang bernama One Direction. Entah
mengapa, aku pun langsung jatuh cinta pada boyband yang satu ini. Betapa
seringnya aku mendengar lagu- lagu mereka, dan juga menyaksikan talk- show
maupun kegiatan mereka sehari- hari. Sedikit demi sedikit, aku belajar banyak
dari aksen British yang mereka ungkapkan, dan terkadang tanpa melihat subtitle
di layar, aku bisa mengerti apa yang mereka katakan. Wah, aku sangat senang
belajar bahasa Inggris. Ini bisa menjadi
modalku untuk memperlancar bahasa Inggrisku. Aku pun di dukung oleh sang Ayah
tercinta dengan cara mengajakku berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris di
kehidupan sehari- hari, baik itu melalui telephone, ataupun pada saat aku
bertatap muka dengan Ayah. Dengan senang hati beliau pun gemar mengoreksi jika kata- kataku salah, ia senang mengoreksi
grammar-ku. Dengan seringnya ia melakukan hal itu, aku belajar dari banyak
kesalahan hingga akhirnya akupun mulai lancar berbahasa Inggris tanpa melakukan
banyak kesalahan sampai saat ini. Ayahku itu dulunya seorang guru Bahasa
Inggris di tingkat Sekolah Menengah Pertama, dan ia juga sempat mengajar kursus
bahasa Inggris buat para mahasiswa. Namun, sekarang ia hanya bisa fokus ke
urusan bisnisnya saja. Apapun itu, aku hanya ingin mengucapkan: ‘’Terimakasih
Ayah!’’.
Lalu, suatu hari aku membaca Koran The
Jakarta Post, yaitu Koran berbahasa Inggris yang terbit di Indonesia. Aku
membaca beberapa artikel yang ditulis oleh para jurnalis terkenal. Betapa
mereka sudah belajar banyak dari cara menulis artikel dengan baik. Usut punya
usut, seorang temanku memiliki seorang Paman yang menjadi jurnalis di Jakarta
Post itu. Melalui bantuan temanku, aku pun bisa bertanya- Tanya padanya tentang
seluk- beluk dunia jurnalistik di media cetak.
‘’ Jadi
jurnalis itu menyenangkan sekaligus melelahkan loh. Kamu harus bisa bertanggung
jawab dengan artikel yang kamu tulis. Kamu bisa kesana- kemari buat mencari
narasumber dan bertemu dengan orang- orang baru maupun orang- orang penting.
Enaknya lagi, kalau kamu sudah menjadi jurnalis tetap di Jakarta Post, kamu
bisa keluar negeri untuk mewawancarai narasumber. Yah, seperti saya ini. Bisa
sekalian jalan- jalan keluar negeri.
Nah, kalau kamu ditugaskan ke Inggris untuk mewawancarai seseorang,
lakukanlah tugasmu dengan benar dan baik. Kamu akan menulis berita. Lalu, tidak
salah jika kamu mau menulis artikel ‘’Travelling’’ tentang nuansa di Inggris
untuk kemudian diberikan ke editor!’’ begitulah penjelasan dari Paman Heri
tentang pekerjaan jurnalis di The Jakarta Post.
Mendengar
itu, aku sangat tertarik untuk mengikuti dunia jurnalistik. Aku baru menyadari
bahwa aku sangat suka menulis. Entah itu menulis cerpen berbahasa Inggris,
menulis artikel, setidaknya aku memiliki dasar dari semua itu. Itu sudah
menjadi makananku sehari- hari sebagai mahasiswa Sastra Inggris. Ditambah lagi,
setidaknya sekarang aku bisa menulis artikel dengan menggunakan bahasa Inggris.
Aku pun memikirkan hal lain. Jika nanti aku tidak bisa melanjutkan studi S2 ku
ke Inggris, setidaknya aku bisa menjadi seorang jurnalis di Jakarta Post.
Pastinya nanti aku juga bisa jalan- jalan ke Inggris. Yah, setidaknya aku bisa
menginjakkan kakiku di Inggris. Untuk menjadi seorang jurnalis di The Jakarta
Post, Paman Heri mengatakan bahwa aku harus lulus S1 terlebih dahulu, IPK
minimal 3,00, memiliki skor TOEFL minimal 550, juga menguasai bahasa Inggris.
Dalam hati aku meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa dan aku harus belajar.
Setiap hari,
aku tidak bosan- bosannya mengutarakan niatku pada teman- teman terdekatku.
Obsesiku untuk pergi ke Inggris, belajar disana ataupun hanya sekedar jalan-
jalan saja. Aku menceritakan keindahan kota London yang penuh dengan lampu jika
dilihat di malam hari melalui London Eye (kincir raksasa di London), betapa
asrinya taman bunga di Buckingham Palace, betapa jalan raya disana tidak terlalu
hiruk pikuk, betapa bagusnya bangunan Oxford yang terbaru saat ini, betapa
indahnya bangunan Gothic seperti Westminster Abbey dan juga Trafalgar Square
yang dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan kantor- kantor berdinding
kelabu, tepat ditengah kesibukan London. Bahkan aku menyebutkan karya sastra
Inggris favoritku di zaman Victoria maupun Elizabeth. Didekat Trafalgar Square terdapat National
Gallery yang memiliki koleksi terkenal seperti The Virgin Of The Rocks karya Leonardo Da Vinci, pelukis favoritku.
Aku menyebutkan detail- detail di kota London, seolah- olah aku sudah pernah
kesana sebelumnya. Melankolis memang, tapi aku tak peduli. Dengan hanya
menceritakan hal itu pada teman- teman dekatku, aku sudah bisa menghibur diriku
sendiri seolah- olah memang aku sudah pernah kesana. Ya, dan aku hanya mengetahui itu semua dari
buku- buku yang berkaitan dengan London, maupun novel yang bersetting di
London. Tak lupa aku meyakinkan teman- temanku untuk berusaha dengan keras agar
impian tercapai. Aku menasehati mereka untuk belajar lebih baik lagi. Mereka
menghargai niatku itu. Namun, terkadang aku memang membuat mereka jengkel
dengan menceritakan hal itu lagi setiap harinya. Mereka menjadi bosan. Ah,
biarin saja. Mereka tidak tahu betapa terobsesinya aku dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan Inggris. Termasuk menikah dengan orang Inggris. Nah
lhoooo…tinggi sekali impianku. Tetapi memang itulah kenyataanya.
***
Minggu, 10
Maret 2014
Siang itu, taman bunga di belakang rumahku
terlihat indah dibawah terpaan sinar matahari yang terik. Karpet biru berbulu
tebal terbentang di sudut pagar yang membatasi taman dengan jalan raya.
Biasanya , saat aku dan teman- teman sedang bermalas- malasan, dengan senang
hati kami membawa beberapa snack dan
berbaring di karpet tersebut seolah kami sedang piknik. Kami juga membawa
kamera SLR untuk berburu foto diri kami yang berlatar belakang taman bunga di
rumahku ini. Namun, siang ini teman- temanku sedang sibuk dengan urusan masing-
masing dan aku sedang tidak ingin kemana- mana. Angin sepoi- sepoi di siang
hari menggelitik kulitku dan aku merasa segar meskipun matahari sedang bersinar
dengan teriknya. Aku menyusuri taman dan
memetik bunga kesukaanku, mawar, lalu duduk di atas karpet biru sambil
bersandar di sebuah batang pohon besar di sudut taman. Hari ini sangat tenang.
Burung- burung kecil berkicau indah, kupu- kupu beterbangan di sekitar bunga,
dan kucing kesayanganku, Timo, sedang tidur terlelap disampingku. Aku menatap
awan dan langit biru yang terbentang luas diatasku. Oh, betapa indahnya alam
ini. Kulihat segumpal awan berbentuk kelinci yang berhembus perlahan di bawah
hamparan langit biru nan luas. Aku merasa nyaman disaat-saat seperti itu. Dunia
tenang, hari yang cerah, semuanya indah. Aku pun memejamkan mataku dan jatuh
tertidur karena angin sepoi- sepoi membuatku mengantuk.
Aku terpana melihat suasana hiruk
pikuk di bandara Heathrow. Bule- bule tinggi dan besar berlalu lalang membawa
koper dan barang bawaan masing- masing disaat aku hanya terpana dan terdiam di
salah satu sudut bandara di dekat antrean para imigrasi. Aku tidak menyangka
aku bisa menginjakkan kaki – kaki kecilku di bandara yang terkenal sangat sibuk
itu. Ya, aku berada di London, di Inggris. Negara impianku sejak aku mengenyam
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama. Karena ini adalah kali pertamanya aku
mengunjungi London, aku masih terpaku dan terbengong- bengong seperti orang
bodoh. Aku tak peduli melihat ekspresi orang- orang yang menatapku terheran-
heran. Yah, biar sajalah, mereka tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Mereka
tidak tahu betapa aku sudah berusaha mati- matian untuk bisa menginjakkan kaki
di Negara impianku ini. Ah, ya akhirnya aku berkesempatan untuk mewawancarai
salah satu boyband Inggris yang terkenal saat ini, One Direction. Inilah tujuan
pertama ku datang ke Inggris setelah keinginanku untuk mengunjungi Old Trafford
dan menikmati pemandangan indahnya kota London di malam hari melalui London
Eye. Yah, aku sekarang menjadi jurnalis di Jakarta Post dan kebetulan aku
ditugaskan untuk mewawancarai One Direction. Betapa beruntungnya aku, sebab One
Direction adalah grup favoriteku. Juga aku sangat bersyukur sebab impianku
menjadi seorang jurnalis benar- benar tercapai. Bayangkan saja. Dari dulu aku
sudah bermimpi ingin melanjutkan studi S2
ke sini setelah aku lulus dari Universitas Padjadjaran, dan meskipun
impianku itu belum tercapai, setidaknya aku bisa menginjakkan kaki di negeri
impianku ini sekarang. Betapa terobsesinya aku dengan hal- hal yang berbau
dengan Inggris.
Aku pun naik kereta bawah tanah di
London, Underground, yang membawaku ke pusat kota. Kira- kira satu jam
kemudian, aku tiba di Leicester Square. Lagi- lagi, aku terpana melihat suasana
di sekitarnya. Bangunan- bangunan bergaya klasik dan beberapa terlihat modern mengelilingiku dari
segala sudut. Udara sejuk angin musim panas menyambutku disana. Matahari tampak
bersinar terik namun tidak terlalu membakar kulitku. Sangat berbeda dengan
musim kemarau di Jakarta. Di dalam ataupun di luar rumah, panasnya sama saja.
Aku meresapi suasana itu seraya
menyeruput minuman kesukaanku, Susu Ultramilk yang sengaja kubawa terbang dari
Indonesia. .Tak lupa aku juga membawa 2 snack favoritku, Mr. Potato.
‘’Ehm, a beautiful woman like you
shouldn’t walk alone!’’ Sebuah suara berat namun berwibawa mengagetkanku.
Disapa begitu, sejujurnya aku agak gugup dan salah tingkah sendiri. Ditambah
lagi, pria yang mengajakku bicara sangat tampan dengan mata coklat dan rambut
coklat.
‘’Ehm, yeah. But I have just arrived
here and I am a new comer from Indonesia!’’ jawabku seadanya sambil tersenyum.
Setelah berbasa- basi dengan si bule tampan,
aku pun mengatakan tujuanku datang kesini sambil menunjukkan alamat studio
rekaman One Direction di London.
Bush
Studios Ltd. In Shepherd’s Bush, London (Near Westfield Shopping center &
The BBC Television Center)
Dengan berbaik hati, si bule tampan
pun mengantarkanku menuju studio yang kutunggu- tunggu itu.
***
‘’
Hmm…Seharusnya dia tidak tidur di tempat seperti ini. Seperti tidak ada kamar
tidur saja! Hey, kau bangunlah!’’ Sebuah suara mengagetkanku. Aku pun tersadar
dan melihat ketiga temanku menatapku lekat- lekat. Entah mengapa, secara reflex aku tidak terima
dikagetkan seperti itu.
‘’ Apa-
apaan sih kalian! Aku sedang berada di London, please deh jangan merusak
suasana!’’ teriakku. Mendengar itu, bukannya malah menjauhiku untuk memberiku
privasi, mereka justru tertawa terbahak- bahak. Dini, salah satu teman baikku
pun langsung angkat bicara.
‘’ Ya ampun,
girl. Ayolah, Kau seharusnya sadar, tadi itu kau cuma bermimpi. Kami dengar kau
menggigau sendiri. Sepertinya di mimpi itu kau bertemu dengan bule, lalu kau
menanyakan alamat studionya One Direction. Ya kan?’’
Aku terdiam
dan merasa shock. Aku melihat arloji, sudah pukul 4 sore. Wah , aku tertidur di
bawah pohon ini selama satu jam lebih. Dan aku tersadar bahwa tadi itu hanyalah
mimpi. Bertemu bule, ada di bandara Heathrow, dan berada di London, ternyata
aku sedang bermimpi di dalam tidurku. Semuanya seperti nyata. Aku tak menyangka
itu hanyalah bunga tidur. Aku mendesah kecewa.
‘’ Sudahlah.
Kau cuma terobsesi dengan Inggris, Inggris, dan Inggris. Sampai- sampai kau
terbawa mimpi! Lebih baik sekarang kita foto- foto, yuk! Tadi kami melihat
Ibumu di depan, makanya kami bisa masuk kesini!’’ Rere, temanku yang lainnya meraih
pergelangan tanganku agar aku segera bangkit dari dudukku. Tetapi, aku masih
tetap kesal. Meskipun aku sudah menerima fakta bahwa tadi aku hanya bermimpi,
setidaknya kalau teman- temanku tidak datang, aku pasti bisa melanjutkan
mimpiku tadi. Aku bisa bertemu One Direction, bahkan aku belum menelusuri
seluk- beluk London. Fiuuuuhhh… Ya sudahlah. Aku tidak menyalahkan teman-
temanku. Setidaknya, aku berharap semoga mimpiku barusan akan menjadi kenyataan
di kemudian harinya. Amin.
Inggris,
London…. I love youuuuuuuu <3 <3
THE END
***